Minggu, 31 Januari 2016

Cara kerja otak manusia menurut Noe Letto.


Sabrang Mowo Damar Panuluh , cukup asing kosa kata dalam kalimat awal tersebut, penggalan-penggalan kata dari suku kata berbasis bahasa Jawa ternyata adalah nama seseorang yang cukup popular dan terkenal di Indonesia. Mungkin akan sangat berbalik ketika kata yang di sodorkan adalah Noe “Vokalis
Letto.” Penikmat musik akan sangat cepat menangkap informasi dan menjelaskan siapa Noe Letto. Apa dua hal tersebut berbeda? Jawabannya adalah tidak. Karena Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah nama asli dari Noe vokalis band Letto.
Apa yang sebenarnya menarik dari sisi lain seorang Noe Letto? Musik dan liyrics-liyric ciptaannya sudah sangat banyak kita kenal, soundtrack sinetron yang tayang selepas sholat maghrib pada salah satu tv swasta istiqamah memutar lagu-lagu ciptaannya. Perbincangan kali ini melihat Noe bukan sebagai seorang musisi dan pencipta lagu, kita mencoba melihat Noe sebagai seorang pelajar, sebagai seorang pemuda, dan sebagai anak dari budayawan terkenal M.H. Ainun Najib atau lebih popular dengan nama Can Nun. Untuk sejenak kita meninggalkan Noe Letto sebagai seorang musisi.
Lahir di Yogyakarta 10 Juni 1979, meskipun tidak ada ulasan tentang biografinya secara khusus, tapi menurut pengakuan Cak Nun sang ayah, sejak SMP Noe telah mengahbiskan bacaan buku-buku bertema tasawuf yang dijual di toko buku ternama di Yogyakarta. Alumnus
Alberta University Canada dengan dua gelar sekaligus sebagai Sarjana Metematika dan Sarjana Fisika (Bachelor of Mathematic dan Bachelor of Physics) tumbuh sebagai pribadi kritis, termasuk ingatannya tentang sistim pendidikan masa kecilnya yang dianggap terlalu riskan.
Dalam suatu kempatan di komunitas Kenduri Cinta (Komunitas diskusi yang berdiri dari perbedaan latar belakang budaya, agama, dan etnis) Noe berbicara tentang pendidikannya di Indonesia sewaktu kecil, dalam bayangan saya apakah mampu menganalisis dengan baik jika seorang musisi berbicara pendidikan?, melihat pekerjaan menciptakan lagu adalah dengan melamun dan berangan-angan, sedangkan pendidikan adalah pekerjaan logika.
Berangkat dari kutipan sederhana, Noe mulai berbicara bahwa pemimpin saat ini adalah produk dari pendidikan masa lalu, sedangkan pemimpin masa depan adalah produk pendidikan saat ini. Ada pengaruh besar pembentukan karakter seseorang di masa depan dengan apa yang dipelajarinya di masa lalu.
Dari SD (Sekolah Dasar) hingga tahapan selanjutnya pendidikan formal di Indonesia, seorang siswa akan dipersenjatai tiga pokok mata pelajaran dasar, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Apa fungsi ketiganya?. Pertama membaca, dengan membaca adalah jendela dunia, cakrawala dunia akan kita peroleh dengan membaca, karena informasi terbesar seseorang dimulai dari membaca. Kedua menulis, tulisan adalah sarana untuk menginformasikan sebuah ide, tujuannya supaya ide dalam pemikiran seseorang bisa dipelajari dan dibaca orang lain, karenanya sebaik-baik ingatan adalah catatan/tulisan. Ketiga adalah berhitung, berhitung adalah ilmu istimewa, karena ada konsitensi dan ketegasan dalam penyelesaian masalah. Dalam ilmu hitung kita dituntut untuk super obyektif menentukan jawaban. Jika satu di tambah dua hasilnya adalah tiga, jika dijawab selain tiga maka akan salah. Kesimpulannya dalam ilmu hitung tidak ada pembenaran jawaban seperti ilmu-ilmu social, jika tidak benar berarti harus salah, jika tidak hitam berarti harus putih.
Melihat tiga hal pokok di atas menghasilkan sebuah refrensi lain, sebenarnya pendidikan di Indonesia akan mengarahkan warganya kemana? Kemudian dijawab oleh pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarga Negaraan) Sekolah Dasar. Bahwa setiap warga negara Indonesia yang baik harus mengikuti azas pancasila dan butir-butirnya. Jika seksama kita baca butir-butir dalam pancasila, dipastikan sembilan puluh persen adalah pelajaran sikap, seperti kalimat-kalimat yang menyuruh lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sikap yang menyuruh menyayangi orang lain, menolong orang lain, dan pelajaran-pelajaran sikap lebih bisa toeleransi keorang lain.
Kemudian mana yang harus menjadi fokus perhatian? Noe kembali menceritakan bahwa masa SD ia tidak menjumpai pelajaran tentang sikap, yang ada hanya wacana tentang sikap. Seperti yang dituliskan pada buku PPKN, ketika ada yang jatuh kita harus menolongnya, ketika ada yang lapar kita harus membagi sedikit makanan kita, intinya dalam mata pelajaran tersebut kita diajari cara untuk bersikap terhadap suatu keadaan, yang harus digaris bawahi lagi-lagi ini adalah sebuah wacana, karena kita tidak secara langsung mengalami. Buktinya kita sangat yakin semua warga Indonesia akan sangat tahu jika kita tanya mana sikap baik dan benar, dan mana sikap yang tercela. Tapi faktanya apakah warga Indonesia yang secara wacana tahu sikap baik dan benar kemudian menjalankannya?. Jawabannya adalah nol sekian persen yang menjalankan pelajaran sikap dalam kesehariannya.
Lebih hilangnya kontrol tercermin ketika evaluasi ujian semester, soal yang diberikan bukan pelaksanaan sikap secara nyata, melainkan tulisan soal dengan jawaban pilihan ganda di selembar kertas, yang di atasnya menunjukkan peraturan “Jawablah pertanyaan dibawah ini yang menurut anda benar.” Fakta di lapangan tidak kalah heboh, ketika seorang siswa SD menjawab soal pilihan ganda dengan jawaban “B” dianggap salah, sebab dalam kunci jawaban soal yang diujikan pada nomor yang sama kebetulan jawabannya adalah “A”. Siapa yang harus bertanggung jawab, siswa atau pembuat soal? Secara laogika siswa melaksanakan tugasnya dengan benar, sebab diperaturan soal pilihan ganda terdapat kalimat “jawablah yang menurut anda benar.” Sedangkan siswa menganggap jawaban “B” benar menurut dia, tetapi kenapa salah menurut kunci jawaban. Sudah sedemikian rusakkah sistim pendidikan di Indonesia, apakah harus ada evaluasi besar-besaran untuk mensejajarkan pendidikan di Indonesia dengan pendidikan Internsional?.
Noe memberikan sedikit kata kunci untuk keluar dari segala pertanyaan diatas melalui sebuah teori kesadaran, dimana letak kesadaran pada diri manusia? Apakah dari hati nurani ataukah dari logika?. Dua opsi diatas harus dijelaskan secara runtut, nurani seseorang tidak akan terbangun jika dia tidak berfikir, sedangkan berfikir adalah pekerjaan akal. Kemudian dalam diri manusia mana tempat saraf dari akal manusia?. Jawabnnya sejauh ini pusat syaraf penggerak dan pemasok ide dalam akal letaknya di otak, sebab jika otak eror, informasi yang diperoleh akal akan berantakan.
Noe mulai menjelaskan sistim kerja otak, sejauh manakah sistim kerja syaraf pada otak. Dalam otak manusia terdapat kumpulan syaraf yang disebut neuron, kemudian ada pusat syaraf yang disebut dendrite, dari dendrtite satu ke dendrite lain ada jalan/saluran yang disebut mielin, sehingga informasi dari dendrite ke dendrite akan lebih cepat ketika mielin ini terbentuk dan sering digunakan. Semakin cepat akses nielin menyambungkan informasi dari dendrite ke dendrite, maka akan mencapai pada sebuah kesimpulan manusia melakukan sebuah pekerjaan tanpa harus berfikir (hafal diluar kepala). Noe memberikan contoh mudah, ketika seorang pertamakali mencangkul pasti ada ukuran-ukuran seberapa jauh ayunan cangkul agar tepat sasaran dan seaman mungkin tidak mengenai kaki yang mencangkul. Tetapi berbeda ketika mielin yang sudah terbentuk mampu menyampaikan informasi dengan cepat, orang mencangkul sudah tidak lagi berfikir bagaimana cara yang benar mencangkul, terkadang mencangkul bisa dilaksanakan sambil ngobrol, sambil bernyanyi, atau sambil mengkritik pemerintah.
Di akhir kesimpulannya Noe memberikan sebuah peraturan, bahwa cara kerja sistim otak manusia yang sudah terbentuk dari kecil, persambungan mielin-mielin pada dendrite tidak bisa dirubah ketika menusia sudah tua. Hasilnya sederhana, sikap manusia ketika tua, itu adalah transformasi nielin-nielin yang terbentuk ketika masa anak-anak, dan pembentukannya bisa dari pengaruh pendidikan, lingkungan, dan cara didik orang tua terhadap anak. Untuk itu karakter dan jiwa kepemimpinan sesorang bisa dipengaruhi oleh informasi masa kecilnya.